قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤
Katakanlah, “Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104)
Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata,
قُلۡ
“Katakan.” Katakanlah, wahai Muhammad kepada manusia dengan cara memperingatkan.
هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا
“Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalannya” secara mutlak?
ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا
“Yaitu (orang-orang yang) batal dan hilang seluruh apa yang mereka amalkan.”
Yaitu mereka menyangka bahwa mereka
telah berbuat baik dalam perbuatannya, lalu bagaimana dengan
amalan-amalan yang mereka mengetahui bahwa itu batal dan bahwa (amalan
tersebut) merupakan bentuk penentangan serta permusuhan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam?
(Firman-Nya),
قُلۡ إِنَّ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ وَأَهۡلِيهِمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ
Katakanlah,
“Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang merugikan
diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.” (az-Zumar: 15) [Taisirul Karimirrahman, hlm. 487—488]
Kepada Siapa Ayat Ini Ditujukan?
Terjadi perselisihan di kalangan para
ulama tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. Pendapat tersebut di
antaranya ada yang mengatakan bahwa:
- Mereka adalah para pendeta. Terdapat riwayat dari Sa’d bin Abi Waqqash, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma dan adh-Dhahhak. (Tafsir ath-Thabari, 16/33)
- Pendapat lain mengatakan mereka adalah Ahlul Kitab: Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma.
Ath-Thabari rahimahullah
meriwayatkan dengan sanadnya dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia
berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang ayat ini. ‘Apakah (yang
dimaksud) adalah Haruriyyah (Khawarij)?’
Sa’d bin Abi Waqqash (ayahnya) menjawab,
“Bukan. Mereka adalah Ahlul Kitab, Yahudi dan Nasrani. Adapun Yahudi
mereka telah mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Nasrani karena mereka mengingkari surga dan berkata, ‘Di dalamnya tidak ada makanan dan minuman’.” (Tafsir ath-Thabari, 16/33)
- Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah Khawarij sebagaimana yang diriwayatkan oleh ath-Thabari rahimahullah dengan sanadnya dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Kalian (yang dimaksud), wahai penduduk Harura’ (Khawarij, red.)!” (ath-Thabari, 11/34)
- Pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir penduduk Makkah. Ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. (Tafsir al-Qurthubi, 11/66)
Yang rajih (kuat) dalam menjelaskan
maksud ayat ini bahwa ayat ini memiliki makna secara umum dari
pendapat-pendapat yang disebutkan di atas. Mencakup setiap orang yang
mengamalkan amalan yang salah dalam keadaan dia menyangka bahwa dialah
yang paling baik amalannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Jarir
ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsir-nya dan demikian pula Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya. Hal ini sangat sesuai dengan salah satu kaidah tafsir yang masyhur:
الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“Yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab (turunnya suatu ayat).”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna (yang diriwayatkan) dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu
bahwa ayat yang mulia ini meliputi Khawarij sebagaimana meliputi Yahudi
dan Nasrani serta selain mereka, bukan maksudnya bahwa ayat ini
ditujukan kepada mereka secara khusus dan tidak kepada yang lain, namun
lebih umum dari (golongan tertentu). Karena ayat ini termasuk ayat
Makkiyyah sebelum adanya pembicaraan tentang Yahudi dan Nasrani, serta
sebelum munculnya Khawarij sama sekali. Sehingga ayat ini pun bersifat
umum terhadap setiap orang yang menyembah Allah subhanahu wa ta’ala
tidak di atas jalan yang diridhai, lalu dia menyangka bahwa dialah yang
benar dan amalannya yang diterima. Padahal dialah yang keliru dan
amalannya pun tertolak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/108)
Demikian pula yang disebutkan oleh al-Harawi rahimahullah. Ia menggolongkan Sufiyyah (Sufi) termasuk dalam ayat ini. Beliau rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mengaku bahwa dia bersama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kedudukannya seperti Khidhr bersama Musa ‘alaihissalam (yakni
merasa tidak berkewajiban mengikuti aturannya, ed.), hendaklah dia
perbarui Islamnya. Adapun orang yang menyembah (Allah subhanahu wa ta’ala)
hanya dengan olah fisik dan menyendiri, lalu meninggalkan shalat Jum’at
dan shalat jamaah, mereka tergolong orang-orang yang sesat amalannya
dalam kehidupan dunia dan mereka menyangka bahwa mereka orang-orang yang
berbuat kebaikan.” (ar-Raddu ‘ala al-Qa’ilin bi Wihdatil Wujud, 1/63)
Demikan pula yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
yang beliau menggolongkan al-Jabriyyah (golongan ekstrem yang hanya
pasrah kepada takdir) ke dalam ayat ini. Beliau berkata, “Sesungguhnya
orang yang ditakdirkan menjadi bahagia (penduduk surga) maka dia pun
akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan orang yang bahagia. Sedangkan
barang siapa yang ditakdirkan menjadi orang sengsara (penduduk neraka)
maka sesungguhnya dia akan dimudahkan mengamalkan amalan orang yang
sengsara. Seseorang dilarang untuk bersikap pasrah kepada takdir lalu
meninggalkan amal. Oleh karena itu, orang yang pasrah kepada takdir yang
telah ditetapkan lalu meninggalkan amalan-amalan yang diperintahkan
(oleh Allah subhanahu wa ta’ala), dia tergolong orang-orang yang paling merugi amalannya, yaitu orang-orang yang sesat amalannya dalam kehidupan dunia.” (Majmu’ Fatawa, 8/273)
Faedah Ayat
Ayat ini merupakan dalil bahwa terkadang seseorang menyimpang dan keluar dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan dia menyangka bahwa dia berbuat baik.
Al-Qurthubi rahimahullah
berkata, “Ayat ini di antara dalil yang paling jelas atas kekeliruan
orang yang menyangka bahwa seseorang tidak kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali apabila dia sendiri memaksudkan kekafiran setelah dia mengetahui tauhid.” (Tafsir al-Qurthubi, 16/34—35)
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ
بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya
seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang dia tidak merasa
menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari jarak antara
timur dan barat.” (Sahih, Muttafaqun ‘alaihi)
Oleh karena itu, terkadang seseorang
keluar dari Islam dan menjadi kafir bukan karena dia menghendaki
kekafiran, namun lantaran sebab-sebab dan faktor yang telah dijelaskan
oleh para ulama dalam bab “Hukum Murtad”. Di antaranya seperti seseorang
yang mencela Islam, mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mengolok-olok Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, atau ayat-ayat-Nya.
Allah ’azza wa jalla berfirman:
وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦
“Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah
mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan
bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena
kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu
(lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (lain)
disebabkan mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa’.” (at-Taubah: 65—66)
Termasuk di antaranya adalah bila
seseorang menyembah patung atau berhala, atau meminta kepada orang mati
serta meminta pertolongan kepada mereka. Perbuatan ini membatalkan
kalimat La ilaha illallah, karena kalimat tauhid ini menunjukkan
peribadatan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Demikian pula berdoa, meminta pertolongan, ruku’, sujud, menyembah,
bernadzar, dan selainnya. Barang siapa yang memalingkan hal tersebut
kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, baik patung, berhala,
malaikat, jin, penghuni kuburan, dan selainnya dari golongan makhluk,
maka sungguh dia telah menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjalankan konsekuensi kalimat tauhid. (Lihat Ta’liq asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah terhadap al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 34—35)
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam beramal
tidaklah cukup dengan beritikad baik atau semata-mata ikhlas, namun
amalan yang dia amalkan harus sesuai dengan tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, para ulama menyebutkan dua syarat yang harus dipenuhi agar suatu amalan diterima oleh Allah ‘azza wa jalla, yaitu ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ ٢
“Yang menjadikan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang
lebih baik amalannya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Ketika Fudhail bin Iyadh rahimahullah menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla “Siapakah di antara kalian yang paling baik amalannya,”
beliau berkata, “Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar.
Sesungguhnya apabila suatu amalan ikhlas tapi tidak benar, tidaklah
diterima sampai amalan itu ikhlas dan benar. Ikhlas semata-mata untuk
Allah subhanahu wa ta’ala dan benar yaitu berada di atas As-Sunnah.”
Dua syarat ini pun telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلىَ صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلىَ قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada fisik (jasmani) dan bentuk tubuh kalian akan
tetapi Allah melihat kepada hati-hati dan amalan kalian.” (Sahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Sebagian ulama salaf mengatakan,
“Tidaklah suatu amalan yang diamalkan melainkan dilontarkan kepadanya
dua pertanyaan: untuk siapakah kamu mengamalkan itu dan bagaimana cara
kamu mengamalkannya?
Pertanyaan pertama tentang sebab yang mendorong seseorang mengamalkan amalan tersebut. Apakah karena Allah ‘azza wa jalla? Karena mengharapkan sesuatu dari dunia ini, untuk mendapat pujian manusia, atau takut celaan manusia dan lainnya?
Sedangkan pertanyaan kedua tentang mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam mengamalkan amalan tersebut. Apakah diambil dari sumbernya atau
karena mengikuti seseorang dari makhluk selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (az-Zuhd war Raqa’iq, Ahmad Farid, hlm. 13)
Ayat ini merupakan teguran keras serta
peringatan terhadap orang-orang yang merasa dirinya beramal saleh dan
menghidupkan Islam, padahal apa yang mereka amalkan sama sekali tidak
berdasarkan dari sumber yang benar yaitu dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dinasihati dan
diperingatkan mereka mengatakan, “Maksud dan tujuan kami baik.” Seperti
halnya orang-orang yang merayakan Maulid, Isra’ Mi’raj, dan semisalnya
dengan alasan dalam rangka menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Atau seperti orang-orang yang membuat bid’ah dengan menambahkan
lafadz-lafadz zikir dan membuat tata cara baru dalam berzikir yang tidak
pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ فَرَءَاهُ حَسَنٗاۖ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۖ فَلَا تَذۡهَبۡ نَفۡسُكَ عَلَيۡهِمۡ حَسَرَٰتٍۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ ٨
“Maka apakah
orang yang dijadikan (setan) menganggap baik perbuatannya yang buruk
lalu dia meyakini perbuatannya itu baik (sama dengan orang yang tidak
ditipu [setan])? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Maka janganlah
dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (al-Fathir: 8)
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits al-Bara’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Telah berkata kepadaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا
أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ
عَلىَ شِقِّكَ الْأَيْمَنِ وَقُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ
وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً
وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ،
آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ؛
فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
Apabila kamu
hendak mendatangi tempat pembaringanmu maka berwudhulah seperti wudhumu
ketika shalat lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu yang kanan dan
ucapkanlah:
‘Ya Allah,
sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepada-Mu, kuserahkan urusanku
kepada-Mu, kujadikan perlindungan diriku kepada-Mu, dengan berharap dan
takut hanya kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan jalan selamat
kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau
turunkan dan terhadap Nabi-Mu yang telah Engkau utus.’ Jika engkau mati
maka engkau akan mati di atas fitrah dan jadikanlah itu sebagai ucapan
akhirmu.”
Al-Bara’ radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku pun mengulangi (zikir) tersebut, lalu ketika aku berkata ‘dan Rasul-Mu yang Engkau utus,’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Tidak, (ucapkanlah) ‘dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus’.”
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari al-Bara’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu ketika keliru mengucapkan kata “dan Nabi-Mu” dengan “dan Rasul-Mu” kemudian dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu bagaimana halnya dengan berbagai macam bentuk zikir yang
dibuat-buat oleh seseorang, seperti halnya zikir yang banyak digandrungi
oleh kaum muslimin sekarang ini, yakni zikir yang disebut dengan
“Amaliah Zikir Taubat” yang dikarang oleh seorang ahli bid’ah sufi M.
Arifin Ilham. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi kemudahan bagi saya untuk menyelesaikan kitab bantahan terhadap zikir bid’ah ini dengan judul Bid’ahnya Amaliah Zikir Taubat.
Di sini akan saya sebutkan secara ringkas dalil yang menunjukkan batalnya amalan ini.
Diriwayatkan oleh ad-Darimi (1/79) dan
al-Bazzar dalam Tarikh al-Ausath (1/198) dengan sanadnya dari ‘Amr bin
Salamah al-Hamdani, ia berkata, “Di saat kami sedang duduk di depan
pintu (rumah) ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, menunggu beliau keluar, tiba-tiba muncul Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu yang lalu bertanya, ‘Apakah Abu ‘Abdirrahman (maksudnya ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, red.) belum keluar menemui kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’
Lalu dia pun duduk bersama kami sampai keluarnya ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Kami pun menemui beliau, lalu Abu Musa radhiallahu ‘anhu
berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya tadi aku melihat di
masjid suatu perkara yang aku anggap itu mungkar.’ Ibnu Mas’ud menjawab,
‘Apakah yang engkau lihat dan jika kamu hidup (lebih lama lagi)
(niscaya) engkau akan melihat kemungkaran.’
Abu Musa radhiallahu ‘anhu
berkata, ‘Aku melihat di masjid ada sekumpulan orang membentuk
halaqah-halaqah. Lalu setiap orang duduk pada salah satu halaqah, dan di
tangan mereka ada kerikil (untuk menghitung jumlah zikir), lalu
dikatakan Bertasbihlah 100 kali. Mereka pun bertasbih 100 kali. Lalu
dikatakan Bertahlillah (ucapkan: laa ilaha illallah) 100 kali.’ Lalu
mereka berkata lagi Bertakbirlah 100 kali. Mereka pun bertakbir 100
kali’.
Mereka pun ke masjid dan mendatangi orang-orang yang berzikir dengan cara tersebut. Lalu berkata ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu kepada mereka,
تَخَافُوْنَ
أَلاَّ يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ؟ عُدُّوْا سَيِّئَاتِكُمْ
وَأَنَا ضَامِنٌ لِحَسَنَاتِكُمْ أَلاَّ يَضِيْعَ مِنْهَا شَيْءٌ،
وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتُكُمْ، هَؤُلاَءِ
صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ
آنِيَتُهُ لَمْ تَكْسُرْ وَثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ أَهْدَى مِن مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ
مُفْتَتِحُوْنَ بَابَ ضَلاَلَةٍ؟
“Apakah kalian
takut hilang amalan kebaikan kalian? Hitunglah kesalahan-kesalahan
kalian! Sesungguhnya aku menjamin tidak akan lenyap sedikit pun dari
kebaikan kalian. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya
kebinasaan kalian! Mereka ini para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih banyak, bejana-bejana beliau (Rasulullah) belum hancur,
pakaian beliau belum usang. Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, apakah
kalian berada di atas satu ajaran yang lebih membimbing kepada petunjuk
daripada ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah kalian
adalah para pembuka pintu kesesatan?”
Mereka berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’
Beliau menjawab, ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun dia tidak mendapatkannya’.”
Diriwayatkan dari al-Baihaqi (2/466) dan ‘Abdurrazzaq (al-Mushannaf, 3/52) dengan sanadnya dari Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah
bahwa beliau melihat seseorang shalat setelah terbitnya fajar shadiq
lebih dari dua rakaat, lalu memperbanyak ruku’ dan sujudnya. Beliau pun
melarangnya. Lalu orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah
Allah subhanahu wa ta’ala menyiksaku karena melaksanakan shalat?”
Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi (Allah subhanahu wa ta’ala) menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah.”
Al-‘Allamah al-Albani rahimahullah berkata tatkala mengomentari riwayat ini, “Ini termasuk keindahan jawaban Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah.
Dan ini merupakan senjata ampuh dalam membantah ahli bid’ah yang
menganggap baik kebanyakan bid’ahnya dengan slogan bahwa itu adalah
zikir dan shalat! Lalu mereka mengingkari Ahlus Sunnah yang mengingkari
perbuatan mereka, dan menuduh bahwa mereka (Ahlus Sunnah, red)
mengingkari zikir dan shalat!! Padahal mereka (Ahlus Sunnah) justru
mengingkari penyelisihan mereka terhadap As-Sunnah (tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam berzikir, shalat, dan yang semisalnya.” (Ilmu ‘Ushulil Bida’, hlm. 71—72)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah kepada kaum muslimin untuk meniti jalan di atas As-Sunnah.
Wallahul Musta’an.
Oleh al-Ustadz Abu Karimah Askari al-Bugisi
ConversionConversion EmoticonEmoticon